Ada sesuatu yang indah, sekitar satu bulan yang lalu.

Hari itu, Selasa , 6 Desember pukul 00.30 di Jalan Kusumanegara No.91 , Semaki , Yogyakarta, Tuhan mengijabah doaku.  Saat aku mencoba mengubur dalam-dalam sebuah harapan, disitulah tuhan memulai rencananya yang luar biasa untuk aku dan dia. Ya, dia, masih pria yang sama, Denggan. Malam itu dari tangga di pojok ruangan kulihat sosok tinggi berjalan menyusuri gelapnya lorong. Kuhampiri ia, kukira rasanya akan asing, tapi ternyata atmosfer Fave Hotel pun enggan merubah suasana untuk kami berdua. Tawa, itulah yang tercipta saat kami, dua sosok yang semula maya bertemu untuk membuat semuanya menjadi nyata.

Oh Tuhan, aku bingung harus mulai dari mana.  Malam itu –di lobi–  kami habiskan untuk berbicara tentang apapun yang terlintas, seperti biasa aku selalu suka mendengarnya bercerita, mengerti ataupun tidak, via telepon ataupun langsung, dan malam itu aku menyadari via langsung jauh lebih menyenangkan. Rasanya aku ingin memekik kegirangan. Bahagia? Jelas , rindu? Tidak lagi, semuanya terobati. Sembari menunggu temanku yang hingga lewat tengah malampun tak kunjung menjejakan kakinya di lantai hotel, aku bercerita padanya tentang apa saja termasuk hal yang tak penting sekalipun. Sesekali aku menatapnya dalam-dalam dan teringat, beberapa tahun yang lalu kami terpisah oleh selat sunda dan bertemu via situs yang ahh sudahlah aku malas mengingatnya. Setelah kami memutuskan untuk terlepas satu sama lain, aku mulai mencoba untuk berfikir serasional mungkin. “Jangan bodoh, Den. Mana ada orang yang mau ketemu cuman gara-gara baper sama cewe omegle.”  tapi malam itu tuhan memberiku kesempatan untuk dapat duduk disampingnya. Malam itu juga kami tak lagi terpisah jarak untuk bertegur sapa.

Malam semakin larut, aku yakin ia pasti lelah. Kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan dini hari itu. Tapi esok, ia berjanji akan membawaku ke alun-alun untuk melihat perayaan sekaten. Satu hal yang membuatku sangat kesal, ia membuat aku menangis dini hari itu, ia menunjukan sebuah sampul buku yang seram dan  mengejutkanku, tapi ya sudahlah … anggap saja itu usahaku agar membuat malam itu tidak terkesan datar. Sebagai permohonan maafnya ia akan mengantarku hingga kedepan pintu kamar. Baiklah aku terima, tapi aku pikir di ujung lorong saja cukup. Aku menunggunya hilang dari pandanganku dan aku terbirit-birit lari menuju ruangan 202. Entah ketakutan atau kegirangan tapi yang jelas aku lari berjingkat-jingkat sambil mengelus-elus leherku saat itu.

Esoknya aku kira semua akan berjalan lancar. Tapi ternyata tidak, ia membuatku menunggu setengah jam lebih di depan gedung DPRD Jogja di Jalan Malioboro. Temanku berlalu-lalang menyapaku “Den, kok sendirian?” huh…. beribu alasan palsu yang  kulontarkan kepada mereka. Saat titik kekesalanku memuncak datang ketiga sahabatku dan aku bilang “kayaknya dia nipu deh, mana coba masa setengah jam gak muncul-muncul.” Sumpah,  aku hampir menangis malam itu, mudah sekali baginya membuat janji, apa sebenarnya yang ada dibenaknya, ah aku benar benar kesal malam itu aku memutuskan untuk kembali ke bus sesaat sebelum sosok yang besarnya sama seperti pria yang aku temui di lobi Selasa dini hari lalu berhenti dengan motor gedenya di sebelahku dan ketiga temanku.  Dengan muka masam kata pertama yang aku sebutkan adalah “APA!?” agak kasar memang, aku meyuruh ketiga temanku untuk meninggalkanku dan mereka pergi. Aku memintanya untuk turun karena aku hanya ingin menikmati susana malam Jalan Malioboro bukan untuk pergi angin-anginan dengan  motor gedenya itu, karena kufikir berjalan seiring dengannya akan meninggalkan kesan yang tidak biasa dan aku lebih memiliki banyak waktu untuk memandangi wajahnya dari tempatku yang rendah. Ia memarkir motornya dan berjalan bersebelahan denganku. Sudahlah aku malas sekali jika harus menceritakan bagian yang ini. Sampai akhirnya ia meminta maaf , entahlah ia serius atau tidak tapi aku masa bodoh, karena memang bertemu dengannya membuat amarahku meredam seketika. Kamipun berjalan lurus, melihat apa saja yang ada, makan, menikmati musik jalanan dan tertawa atau lagi-lagi membicarakan hal yang tidak penting—tapi sungguh itu sangat sangat menyenangkan—termasuk wanita yang ada di layar ponselnya. Itu memang sangat tidak penting bagiku, tapi hanya saja ada yang mengganjal, tapi setelah aku fikir, yang terpenting adalah aku ingin menghabiskan malam terakhirku di Jogja bersamanya, entah dengan posisinya yang terikat dengan wanita yang ada dilayar ponsel itu ataupun tidak. Perjalanan kami dimulai dengan makan oseng-oseng mercon yang pedasnya bukan main. Uh.. aku merasa ditipu dengan ayahku, ia yang merekomendasikan aku untuk mencoba makanan yang pedasnya membuatku hampir menangis di depan Denggan untuk yang kedua kalinya.

Setiap pergi ke Jogja aku tak pernah absen unuk sekedar lewat didepan gerobak yang menjual beragam makanan khas Jogja tempat aku dan Denggan makan oseng-oseng mercon. Tapi baru kali ini aku mampir dan mencicipi dagangannya, dengan orang yang spesial tentu saja.

“Aku sering loh lewat sini, tapi baru sekali makan disini.”

“Sama aku juga, aku baru dua kali. Yang pertama sama ibu, yang kedua sama kamu.”

Percaya atau tidak pernyataan yang baru saja ia lontarkan itu membuat aku bahagia. Senang rasanya diajak ketempat yang sama dengan tempat yang dikunjunginya bersama ibunnya, entah kenapa. Padahal bisa saja ia menipuku kan?

Aku teringat akan Tania yang sedang beretmu dengan Dian Adi Nugroho, teman kami dulu. Tak ada salahnya jika bergabung bukan? Ternyata mereka sedang berada di Tugu. Baiklah mungkin aku memang harus merasakan berangin-angin ria diatas motor gede itu bersama Denggan. Senang bukan main, sumpah. Hanya saja aku akan seperti orang gila jika harus berteriak di atas motor. Ia seperti Tour Guide yang tahu segalanya tentang kota yang sejak lama aku cinta ini dan karenanya pula , malam ini, aku semakin mencinta kepada Jogja.

Ia memarkir motornya di bahu jalan, dan kami menyebrang untuk samapai ke tugu. Entah angin yang mana yang mebuatku menggenggam jemarinya saat menyebrang jalan, karena menurutku menggenggam  tanggannya terlalu besar jadi kuputuskan untuk menggenggam jemarinya saat itu. Dan aku merasakan ada balasan di genggaman itu. Aku yakin, jika aku tidak menggenggam jemarinya terlebih dahulu, ia pun akan sungkan untuk sekedar menarik tanganku kearah badannya agar aku tidak terlanggar sebuah mobil yang lewat saat itu, atau menarik tanganku dan membawaku ke sesorang yang mengenakan baju ala hantu komersial, Valak. Tapi karena aku memulainya, semua itupun dilakukan tanpa sungkan. Ya… sebut saja yang kulakukan adalah, pancingan heheheh…

Aku ingin berfoto dengannya setidaknya sekali saja untuk malam itu. Jaga-Jaga kalau nanti aku sampai di Lampung dan merebahkan sekujur tubuh dikasur kesayanganku dan tiba-tiba aku merindukannya, aku malas jika harus sekedar mengingat remang-remang bagaimana bentuk wajahnya, aku ingin yang jelas.  Tapi ternayata mitos Tugu Jogja sempat menghalangiku untuk berfoto dengannya “nanti kuliahku gak kelar-kelar” ahh, aku agak kecewa saat itu, mungkin melihat keinginan orang sumatera  yang jauh-jauh datang ke Jogja ia pun luluh dan mau diajak foto bersama “kalo kuliah kamu gak kelar-kelar jangan salahin aku ya”. Aku meminta tolong Tania untuk mengabadikan berdirinya aku dan Denggan di Tugu malam itu.

Mengitari kota Jogja menjadi tujuan kami selanjutnya. Menyenangkan ternyata duduk dibelakangnya disinari lampu disepanjang jalanan kota yang terkenal dengan kearifan lokalnya itu. Jika ribuan manusia memekikan ketelingaku bahwa angin malam terasa dingin, akan aku pekikan kembali bahwa kalian semua bohong . Karena memang hanya hangat yang aku rasa malam itu.

“nih, aku suka nongkrong disini nih waktu pertama kali kenal kamu” Ia menunjuk kesalah satu tempat makan paling komersial diseluruh dunia, Mc Donald. Sumpah, lagi –lagi aku kegirangan dibuatnya. Entah sengaja atau  tidak, ia bahkan mengingat apa yang dulu ia lakukan saat kami baru saling mengenal nama dan muka. Setidaknya aku masih berada di memorinya, itu sudah cukup.  Kami berjalan menuju Alun-alun Kidul, hanya saja Tania  enggan turun dari sepeda motor saat itu. Ah, sayang, padahal aku ingin sekali melihat ada apa didalamnya.

 

Bawaan ngidam, Denggan tiba-tiba ingin cakwe yang warungnya memang kami lewati. Terpaksa namun ikhlas, Tania dan Dian  menurut saja untuk putar arah.

“kamu mau berapa?”

“aku lima yah? Yang panjang.”

“Bu, 20 ya!”

Entah hantu apa yang menyumbat telinganya, aku bilang  “lima” bukan “dua puluh” .

“lah, aku kan bilang 5”

“terserah aku sih, aku yang beli.”

Melihat sepatunya yang putih bersih, aku iseng untuk menginjaknya dan dia balas menginjak sepatu putihku. Saking serunya injak-menginjak kami tak sadar telah menjatuhkan sebiji cakwe ke tanah. Ahh, untung saja ibunya tidak melihat bahkan mungkin Dengganpun tidak sadar .

Tujuan selanjutnya adalah kafe 24 jam sekaligus menjadi tujuan terakhir kami malam itu. Akhirnya 1 tujuanku tercapai di tempat itu, mencubit pipi bulatnya. Ahh… kenapa kamu begitu lucu malam itu? Ia juga sempat menyuapiku dengan fetuccine carbonara yang aku lebih suka menyebutnya dengan mie santan. Itu kali pertama aku mencoba carbona yang memang tidak bisa menggantikan cinta pertamaku, bolognese.  Tania sudah mengkode aku untuk kembali pulang ke hotel karena jam mendekati pukul 12 . Malam itu kami tutup dengan secangkir milk tea, vanila latte, kentang goreng dan sepiring mie santan khas Italia.

Andai aku bisa memperlambat jarum  jam yang bergerak menuju angka 12, akan kulakukan hanya untuk memperpanjang malam itu. Aku bukan Cinderella yang harus pulang tengah malam bukan?

“Nok, maafin aku yah. Aku belom bisa nepatin janji aku.”

“ha? Janji yang mana?”

“bawa kamu ke Tempo Gelato sama beliin kamu balon yang bisa terbang kalo kamu main ke Jogja.”

Lagi, kalau koprol ditengah malam merupakan hal yang legal dilakukan sebagai tanda bahagia, aku akan lakukan. Aku benar-benar masih ada dalam ingatannya. Bahkan janjinya padakupun masih diingatnya secara baik. Untukku, itu lebih dari sekedar cukup, tetap dikenang walau hanya dalam fikiran, setidaknya aku tidak menghilang tenggelam akan banyaknya tugas kuliah, masalah yang datang silih-berganti, ramainya orang datang dan pergi, bahkan apapun. Dan ingatannya mengenai aku masih terapung diatas itu semua.

Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku hanya berkata-kata tentang keenggananku untuk kembali pulang ke bumi Lampung. Tapi Denggan bilang, bahwa aku harus pulang, dan fokus untuk persiapan masuk keperguruan tinggi di Jogja. Masih teringat jelas di benakku, ia menggenggam singkat tanganku dan berpesan untuk fokus belajar. Tidak bisa aku pungkiri ia memperkuat keinginanku untuk tinggal di kota yang memang sudah sejak lama kucinta. Tapi ada ataupun tidak, kenal ataupun tidak sebelumnya, aku tetap ingin tinggal disini, dikota yang menurutku istimewa.

Akhirnya kami tiba didepan hotel tempat kami pertama bertemu dan tempat kami mengakhiri pertemuan yang pertama. Berat sungguh untuk beranjak pergi dari sisinya. Aku hanya dapat mencoba merekam setiap jengkal perwakannya malam itu, menunggunya berbalik arah, pergi dan hilang dari pandanganku. Sampai akhirnya yang aku lihat hanyalah kesendirian lampu jalan yang setia bersinar menerangi siapapun yang nanti akan melewatinya, setidaknya bukan hanya aku yang merasa sendirian malam itu.

Aku langsung memberskan koperku, aku tidak ingin repot saat checkout esok pagi. Mandi shower air hangat memang pilihan yang pas di tengah malam, setelah itu tidak ada yang harus aku lakukan selain bergegas tidur.

Aku mengecek ponselku dan mendapati pesan dari Denggan.

“Nok, coba kamu buka tas.”

Ahhh, jangan-jangan ada barangnya yang tertinggal. Aku berusaha merogoh tasku sedalam mungkin, kudapati bentuk yang asing, yang sama sekali aku tak kenal, benda apa ini?. Aku mencoba mengeluarkan benda itu. Sebuah jam tangan hitam putih lucu berada tepat digenggaman tanganku dini hari itu. Sadar atau tidak, aku menangis bahagia, ya… bahagia, sangat bahagia. Ia begitu menghargai kehadiranku yang singkat,ia begitu menghargai kehadiran wanita asing yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Apakah aku kePDan kalau aku menyimpulkan ini artinya ia ingin aku selalu mengingatnya? Ah, aku rasa tidak. Asal dia tahu apa yang diberikannya sepanjang malam menuju bergantinya hari sudah lebih dari cukup bagiku. Dan asalkan dia tahu lagi, ada ataupun tidak jam tangan itu, melingkar ataupun tidak ditanganku nantinya, dia akan tetap berada dalam ingatan dan hatiku. Ya, ia akan selalu memiliki tempat dihatiku. Sebagai apa? Biar waktu yang membantuku untuk menjawab.

Jika kalian bertanya mengapa aku mau menempatkan ia dalam hatiku, walau aku tak pernah tau ada atau tidak aku didalam hatinya, itu karena hak setiap manusia untuk mengisi apa saja dalam hatinya.  Biarlah aku menaruh harap pada tour guide Jogjaku malam hari itu, dibalas ataupun tidak biar ini menjadi urusanku.

Kubuka tirai kamar hotel malam itu, kutatap dalam-dalam langit hitam yang tengah tersenyum dalam kesendiriannya, tak ditemani bintang, tak ditemani bulan, mataharipun masih enggan singgah padanya. Bukan hanya aku  dan lampu jalan yang sendiri malam itu. Langit malam ternyata memilih bergabung dan menjadikan kami tidak lagi merasa sendiri.

“Ya Allah, Terimkasih telah menjawab doaku. Terimkasih telah memberikan aku kesempatan untuk bertemu dengannya”

Malam itu memang menjadi akhir pertemuan kami yang pertama tapi aku yakin, malam itu juga menjadi titik awal pertemuan kami yang kedua dan seterusnya. Sepanjang perjalananku kembali menuju Lampung, disitu aku tersadar akan kuasa tuhan yang dapat mempertemukan dua anak manusia yang tak saling kenal­-yang terpisah jarak begitu jauhnya- dengan cara yang begitu indah. Jika wanita diseluruh dunia  dikumpulkan dan diberi pertanyaan “siapa yang paling bahagia?” dengan sekuat tenaga akan kuteriakan namaku. Aku yakin ini bukanlah sebuah selamat tinggal yang harus ditangisi, tetapi sebuah sampai jumpa lagi yang harus ditunggu kapan waktunya tiba. Ini bukan soal kePDan, namun keyakinan memang akan membuat alam menjawab semua keinginanmu

Ahhh… Malam ini aku telah merebahkan tubuhku di kasur kesyanganku dan benar saja, aku merindukannya…

mu dan tempat kami mengakhiri pertemuan yang pertama. Berat sungguh untuk beranjak pergi dari sisinya. Aku hanya dapat mencoba merekam setiap jengkal perwakannya malam itu, menunggunya berbalik arah, pergi dan hilang dari pandanganku. Sampai akhirnya yang aku lihat hanyalah kesendirian lampu jalan yang setia bersinar menerangi siapapun yang nanti akan melewatinya, setidaknya bukan hanya aku yang merasa sendirian malam itu.

Aku langsung memberskan koperku, aku tidak ingin repot saat checkout esok pagi. Mandi shower air hangat memang pilihan yang pas di tengah malam, setelah itu tidak ada yang harus aku lakukan selain bergegas tidur.

Aku mengecek ponselku dan mendapati pesan dari Denggan.

“Nok, coba kamu buka tas.”

Ahhh, jangan-jangan ada barangnya yang tertinggal. Aku berusaha merogoh tasku sedalam mungkin, kudapati bentuk yang asing, yang sama sekali aku tak kenal, benda apa ini?. Aku mencoba mengeluarkan benda itu. Sebuah jam tangan hitam putih lucu berada tepat digenggaman tanganku dini hari itu. Sadar atau tidak, aku menangis bahagia, ya… bahagia, sangat bahagia. Ia begitu menghargai kehadiranku yang singkat,ia begitu menghargai kehadiran wanita asing yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Apakah aku kePDan kalau aku menyimpulkan ini artinya ia ingin aku selalu mengingatnya? Ah, aku rasa tidak. Asal dia tahu apa yang diberikannya sepanjang malam menuju bergantinya hari sudah lebih dari cukup bagiku. Dan asalkan dia tahu lagi, ada ataupun tidak jam tangan itu, melingkar ataupun tidak ditanganku nantinya, dia akan tetap berada dalam ingatan dan hatiku. Ya, ia akan selalu memiliki tempat dihatiku. Sebagai apa? Biar waktu yang membantuku untuk menjawab.

Jika kalian bertanya mengapa aku mau menempatkan ia dalam hatiku, walau aku tak pernah tau ada atau tidak aku didalam hatinya, itu karena hak setiap manusia untuk mengisi apa saja dalam hatinya.  Biarlah aku menaruh harap pada tour guide Jogjaku malam hari itu, dibalas ataupun tidak biar ini menjadi urusanku.

Kubuka tirai kamar hotel malam itu, kutatap dalam-dalam langit hitam yang tengah tersenyum dalam kesendiriannya, tak ditemani bintang, tak ditemani bulan, mataharipun masih enggan singgah padanya. Bukan hanya aku  dan lampu jalan yang sendiri malam itu. Langit malam ternyata memilih bergabung dan menjadikan kami tidak lagi merasa sendiri.

“Ya Allah, Terimkasih telah menjawab doaku. Terimkasih telah memberikan aku kesempatan untuk bertemu dengannya”

Malam itu memang menjadi akhir pertemuan kami yang pertama tapi aku yakin, malam itu juga menjadi titik awal pertemuan kami yang kedua dan seterusnya. Sepanjang perjalananku kembali menuju Lampung, disitu aku tersadar akan kuasa tuhan yang dapat mempertemukan dua anak manusia yang tak saling kenal­-yang terpisah jarak begitu jauhnya- dengan cara yang begitu indah. Jika wanita diseluruh dunia  dikumpulkan dan diberi pertanyaan “siapa yang paling bahagia?” dengan sekuat tenaga akan kuteriakan namaku. Aku yakin ini bukanlah sebuah selamat tinggal yang harus ditangisi, tetapi sebuah sampai jumpa lagi yang harus ditunggu kapan waktunya tiba. Ini bukan soal kePDan, namun keyakinan memang akan membuat alam menjawab semua keinginanmu

Ahhh… Malam ini aku telah merebahkan tubuhku di kasur kesyanganku dan benar saja, aku merindukannya…

 

 

Displaying 2016-12-24 05.46.29 1.jpg

*Aku dan Denggan ada disebelah kanan, bukan kiri.

ps: sebenarnya ia berjanji padaku, untuk mengedit sedikit tulisan ini sebelum aku mempostingnya. Tapi entahlah, aku masih kehilangan Denggan sampai hari ini. Entah aku yang kehilangan atau dia yang sengaja mengabaikan.